Gunakan Pencarian Ini

Join disini dulu ya, Like This !!!

×

Powered By Berbagi Ilmu SEO and TUTORIAL BLOGGING

AKAN LEBIH BAIK JIKA ANDA MENDOWNLOAD FILE DALAM BENTUK PDF

Wednesday 20 November 2013

Obat Tradisional

Obat Tradisional

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional dibuat atau diramu dari bahan tumbuh-tumbuhan, bahan hewan, sediaan sarian (galenik), atau campuran bahan-bahan tersebut. Obat tradisional secara turun-temurun telah digunakan untuk kesehatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional telah digunakan oleh berbagai aspek masyarakat mulai dari tingkat ekonomi atas sampai tingkat bawah, karena obat tradisional mudah didapat, harganya yang cukup terjangkau dan berkhasiat untuk pengobatan, perawatan dan pencegahan penyakit (Ditjen POM, 1994).
Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional, maka pembuatan obat tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya mengikutkan pengawasan menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat tradisional yang senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku. Keamanan dan mutu obat tradisional tergantung dari bahan baku, bangunan, prosedur, dan pelaksanaan pembuatan, peralatan yang digunakan, pengemasan termasuk bahan serta personalia yang terlibat dalam pembuatan obat tradisional (Dirjen POM, 1994).
Bahan-bahan ramuan obat tradisional seperti bahan tumbuh-tumbuhan,bahan hewan, sediaan sarian atau galenik yang memiliki fungsi, pengaruh serta khasiat sebagai obat, dalam pengertian umum kefarmasian bahan yang digunakan sebagai simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang dikeringkan (Dirjen POM, 1999).
Menurut Material Medika (MMI, 1995), simplisia dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu:
1.      Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia.
2.      Simplisia hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan atau bagian hewan zat- zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni.
3.      Simplisia pelikan (mineral)
Simplisia pelikan adalah simplisia yang berupa bahan-bahan pelican (mineral) yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia.


Zat kimia berkhasiat (obat) tidak diperbolehkan digunakan dalam campuran obat tradisional karena obat tradisional diperjual belikan secara bebas. Dengan sendirinya apabila zat berkhasiat (obat) ini dicampurkan dengan ramuan obat tradisional dapat berakibat buruk bagi kesehatan (Dirjen POM, 1986).


Tanaman Obat

Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat ini sudah lama dimiliki oleh nenek moyang kita dan hingga saat ini telah banyak yang terbukti secara ilmiah. Dan Pemanfaatan tanaman obat Indonesia akan terus meningkat mengingat kuatnya keterkaitan bangsa Indonesia terhadap tradisi kebudayaan memakai jamu.
Bagian-bagian yang digunakan sebagai bahan obat yang disebut simplisia. Simplisia:
a.       Kulit (cortex) Kortek adalah kulit bagian terluar dari tanaman tingkat tinggi yang                      berkayu.
b.      Kayu (lignum) Simplisia kayu merupakan pemanfaatan bagian dari batang atau                        cabang.
c.       Daun (folium) Folium merupakan jenis simplisia yang paling umum digunakan                          sebagai bahan baku ramuan obat tradisional maupun minyak atsiri.
d.      Herba Simplisia herba pada umumnya berupa produk tanaman obat dari jenis herba                 yang bersifat herbaceous.
e.       Bunga (flos) Bunga sebagai simplisia dapat berupa bunga tungga atau majemuk,                       bagian bunga majemuk serta komponen penyusun bunga.
f.       Akar (radix) Akar tanaman yang sering dimanfaatkan untuk bahan obat dapat                         berasal dari jenis tanaman yang umumnya berbatang lunak dan memiliki kandungan                   air yang tinggi.
g.      Umbi (bulbus) Bulbus atau bulbi adalah produk berupa potongan rajangan umbi                     lapis, umbi akar, atau umbi batang. Bentuk ukuran umbi bermacam-macam                              tergantung dari jenis tanamannya.
h.      Rimpang (rhizoma) Rhizoma atau rimpang adalah produk tanaman obat berupa                        potongan-potongan atau irisan rimpang.
i.        Buah (fructus) Simplisia buah ada yang lunak dan ada pula yang keras. Buah yang                  lunak akan menghasilkan simplisia dengan bentuk dan warna yang sangat berbeda,                  khususnya bila buah masih dalam keadaan segar.
j.        Kulit buah (perikarpium) Sama halnya dengan simplisia buah, simplisia kulit buah                    pun ada yang lunak, keras bahkan adapula yang ulet dengan bentuk bervariasi.
k.      Biji (semen) Semen (biji-bijian) diambil dari buah yang telah masak sehingga                           umumnya sangat keras. Bentuk dan ukuran simplisia biji pun bermacam-macam                        tergantung dari jenis tanaman (Widyastuti, 2004).

Tuesday 19 November 2013

Journal - ANTIOXIDANT ACTIVITY, PHENOL AND FLAVONOID CONTENT OF SOME LESS KNOWN MEDICINAL PLANTS OF ASSAM

Journal - ANTIOXIDANT ACTIVITY, PHENOL AND FLAVONOID CONTENT OF SOME LESS KNOWN MEDICINAL PLANTS OF ASSAM



ABSTRACT
Ethanolic extract of four medicinal plants Polygonum microcephalum, Moringa oleifera, Croton tiglium and Gomphrena globosa were examined for antioxidant activity, and phenol and flavonoid content. Total phenol and flavonoid content and DPPH radical scavenging activity of the extracts were spectrophotometrically determined. Catechol, Quercetin, and ascorbic acid were taken as standard in case of phenol, flavonoid content and antioxidant activity respectively. The total phenol and total flavonoid content was observed highest in P. microcephalum. The DPPH radical scavenging activity was highest in M. oleifera. There observed a relationship between phenol and flavonoid content but failed to show relationship between phenolic content and antioxidant activity of the ethanol extracts of the plants.

KEY WORDS

antioxidant, phenol, flavonoid, medicinal plants.

INTRODUCTION

Medicinal plants have been playing a vital role
on the health and healing of man since down of
human civilization. In spite of tremendous
development in the field of allopathic medicines
during the 20th century, plants still remain one
of the major sources of drugs in modern as
well as in traditional system of medicine.
Medicinal plants are source of certain bioactive
molecules which act as antioxidants and
antimicrobial agents1-4. There is an upsurge in
demand of plant materials containing phenolics
as they retard oxidative degradation of lipids
and thereby improving quality and nutritional
value of food4-6.
Free radicals are responsible for several
disorders in human body7-8. Oxidative process
is one of the most important routes for
producing free radicals in food, drug, and even
in living systems. The free radicals in the
human body have adverse effects on its
immune system9. Consumption of natural
oxidants as free radical scavengers may
become necessary to improve the depleted
immune system7, 10-12. It is reported that the
antioxidant constituents of plant materials
provide protection from coronary heart disease
and cancer13 and protect the body from
damage caused by free radical induced
oxidative stress14-15.
Recently, more attention has been given
in  medicinal plants of therapeutic potentials
as antioxidants in reducing free radical induced
tissue injury. Many plants have been
investigated  in  the  search  for  novel
antioxidants 16-24. The synthetic antioxidants
have restriction for use, as they are suspected
to be carcinogenic. Therefore, the importance
of searching for and exploiting natural
antioxidants has increased greatly in present
years 25.
P. microcephalum, M. oleifera, C. tiglium
and G. globosa are commonly used in various
ailments by different ethnic group of Assam.
Leaves of P. microcephalum and M. oleifera 
are used as vegetable. P. microcephalum is
believed to be appetizer and it releafs from
acidity in stomach. Leaves of M. oleifera leaf
are believed to cure jaundice and prevent
viral infection that cause measles. C.tiglium
leaves are used to cure fungal infection in
rotten nails. Leaves of G. globosa are used to
stop bleeding due to cut injury.
The purpose of the present study was
to investigate the antioxidant activity, phenol
and flavonoid content of some potential
medicinal plants P. macrocephalum, M.
oleifera, C. tiglidium and G. globosa .

 Download this file in pdf:




Jurnal - EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga Linn.) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Candida albicans ISOLAT 218-SV SECARA IN VITRO

JURNAL EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga Linn.) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Candida albicans ISOLAT 218-SV SECARA IN VITRO



Rista Dwi Hermilasari*, Sri Winarsih**, Rita Rosita***

ABSTRAK

Infeksi Candida albicans merupakan penyebab timbulnya kandidiasis. Angka kejadian karena infeksi Candida albicans yang sering banyak ditemukan, efek merugikan pada obat antifungi, dan semakin berkembangnya pemakaian obat herbal maka perlunya pemanfaatan tanaman herbal sebagai pilihan obat
alternatif antijamur. Pilihan obat alternatif tersebut adalah kencur (Kampferia galanga Linn.), yang kemungkinan kandungan zat aktif didalamnya seperti tanin, sineol, saponin, dan flavonoid berpotensi sebagai antijamur.
Tujuan penelitian ini adalah membuktikan bahwa ekstrak etanol rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn.) efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans secara in vitro. Penelitian ini menggunakan metode
dilusi agar dan sampel uji berupa satu isolat Candida albicans yang berasal dari penderita kandidiasis vagina. Bahan uji yang digunakan adalah ekstrak etanol rimpang kencur yang dibuat dengan metode maserasi dengan konsentrasi 0% (sebagai kontrol positif), 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, dan 50% (sebagai kontrol negatif). Hasil uji analisis Kruskal-Wallis didapatkan perbedaan yang signifikan (p = 0,001), kemudian uji lanjutan dengan Mann-Whitney dan terdapat hubungan antara kenaikan konsentrasi ekstrak etanol rimpang kencur dengan
pengurangan jumlah koloni Candida albicans (R = -0,964). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol rimpang kencur efektif dalam menghambat pertumbuhan koloni Candida albicans dengan Kadar Hambat
Minimal (KHM) pada konsentrasi 4%. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut efektivitas ekstrak etanol rimpang kencur dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans secara in vivo.

Kata Kunci: kencur (Kaempferia galanga Linn.), Candida albicans, efek antijamur


Download file pdfnya:

 

Jurnal - IDENTIFIKASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER SERTA UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN EKSTRAK METANOL TERIPANG Stichopus hermanii

IDENTIFIKASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER SERTA UJIAKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN EKSTRAK METANOL TERIPANG Stichopus hermanii
oleh: Abdullah Rasyid


ABSTRAK
Identifikasi senyawa metabolit sekunder, uji aktivitas antibakteri dan antioksidan ekstrak metanol teripang Stichopus hermanii telah dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2011 di Laboratorium Produk Alam, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sampel teripang yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari perairan Lampung Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi senyawa metabolit sekunder, aktivitas antibakteri dan antioksidan ekstrak metanol teripang S. hermanii. Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode maserasi menggunakan pelarut metanol. Identifikasi metabolit sekunder dengan pengamatan reaksi warna, pengendapan dan buih. Uji aktivitas antibakteri dan antioksidan ekstrak metanol teripang dilakukan masing-masing dengan metode difusi dan reduksi senyawa radikal bebas 1,1-Diphenyl-2-Picrylhydrazyl (DPPH). Hasil penelitian menunjukkan bahwa golongan senyawa metabolit sekunder yang teridentifikasi dalam ekstrak
metanol teripang S. hermanii adalah saponin dan steroid. Kedua metabolit sekunder tersebut memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus, Vibrio eltor dan Bacilus subtilis. Hasil analisis terhadap aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa nilai IC50 ekstrak metanol teripang S. hermanii sebesar 65,08 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa S. hermanii memiliki potensi sebagai antibakteri dan antioksidan.

Kata kunci: Antibakteri, antioksidan, teripang Stichopus hermanii, metabolit sekunder

Download file pdfnya:

atau





Analisis Senyawa Metabolit Sekunder dan Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Biji Buah Alpukat (Persea americana Mill.)


                                                   Abstrak

Biji buah alpukat telah banyak digunakan sebagai obat tradisional,
oleh karena itu diperlukan informasi ilmiah tentang kandungan kimia dan
efek samping yang ditimbulkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis senyawa-senyawa metabolit sekunder yang terkandung
dalam  biji alpukat, serta  menentukan toksisitas ekstrak biji alpukat
berdasarkan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST). Skrining fitokimia
merupakan suatu tahap seleksi awal untuk mendeteksi golongan senyawa
kimia yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan. Skrining fitokimia meliputi
uji alkaloid, uji triterpenoid dan steroid, uji tanin, uji flavonoid dan uji
saponin. Uji toksisitas menggunakan metode BST dengan bioindikator
larva Artemia salina Leach. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan analisis
probit menggunakan SPSS 20.0 for Windows untuk mengetahui
nilaiLethal Concentration50 (LC50). Berdasarkan skrining fitokimia, biji buah
alpukat diketahui mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder,
yaitu alkaloid, triterpenoid, tanin, flavonoid dan saponin. Nilai LC50 yang
diperoleh berdasarkan uji toksisitas biji buah alpukat mentega segar dan
kering, serta biji buah alpukat biasa segar dan kering, yaitu masing-
masing sebesar 42,270 mg/L, 36,078 mg/L, 36,924 mg/L, dan 34,302
mg/L.

Download jurnal dalam bentuk pdf:




Wednesday 9 October 2013

Laporan Farmasi Fisika - Kompleksasi Obat_Suyadi

Tag:  Laporan, Laporan Farmasi Fisika, Laporan Komplekso, Laporan Kompleksasi Obat, Laporan Hasil            Praktikum Kompleksasi Obat.



BAB I
PENDAHULUAN
I.1     Latar Belakang
Obat merupakan salah satu kebutuhan yang digunakan dalam upaya menunjang peningkatan dan pemeliharaan kesehatan masyarakat. Banyak bentuk sedian farmasi yang beredar di masyarakat diantaranya sediaan padat dan cair, terdapat sediaan yang mengandung  bahan aktif yang kelarutannya kecil dalam air.
Suatu obat harus mempunyai kelarutan dalam air atau larutan agar manjur secara terapi sehingga obat masuk ke sistem sirkulasi dan menghasilkan suatu efek terapeutik. Senyawa-senyawa yang tidak larut seringkali menunjukkan absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu, sehingga untuk menetapkan kelarutan suatu zat didalam suatu larutan maka perlu ditambahkan zat pengompleks.
Dalam artian luas, senyawa kompleks adalah senyawa yang terbentuk karena penggabungan dua atau lebih senyawa sederhana, yang masing-masingnya dapat berdiri sendiri. Demikian juga dalam bidang formulasi sering diterapkan pembentukan kompleks antara obat dengan bahan tambahan.
Sebagian besar jenis reaksi kimia yang digunakan dalam penentuan titrimetrik melibatkan pembentukan ion kompleks yang dapat larut tetapi sedikit terdisosiasi. Kation yang logam cenderung untuk membentuk kompleks. Sifat ini diogunakan untuk pemisahan , penetapan kadar , dan membuat kation yang tidak dapat bereaksi . Untuk analisis yang penting adalah tetapan stabilitas (kestabilan) dan tetapan disosiasi.
Dalam bidang farmasi, prinsip kompleks ini digunakan untuk menambah kelarutan suatu senyawa obat. Karena ada sebagian dari senyawa obat tak dapat larut dengan baik sehingga perlu untuk menambahkan pengkompleks.
Karena pentingnya reaksi kompleksasi dalam dunia farmasi maka dilakukanlah percobaan ini yang bertujuan untuk mengetahui dan menetapkan kelarutan suatu zat obat yang terdapat pada suatu larutan dengan penambahan zat pengompleks.
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1  Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penentuan kelarutan suatu zat dengan penambahan zat pengompleks.
I.2.1  Tujuan Percobaan Menetapkan kelarutan kofein dalam larutan dengan penambahan sulfanilamida menggunakan metode spektrofotometer.
I.3     Prinsip Percobaan
Penetapan kelarutan dari kofein dalam larutan dengan penambahan sulfanilamida dengan dengan konsentrasi yang berbeda-beda didasarkan pada kompleks yang terjadi antara kofein dengan sulfonamida yang di ukur dengan menggunakan spektrofotometer


BAB II
            TINJAUAN PUSTAKA
II.1  Teori Umum
Kompleks atau senyawa koordinasi, menurut definisi klasik, diakibatkan oleh mekanisme donor-akseptor atau reaksi asam-basa Lewis antara dua atau lebih konstituen kimia yang berbeda. Setiap atom atau ion nonlogam apakah bebas atau berada dalam molekul netral atau dalam senyawa ionik, yang dapat menyumbangkan satu pasang elektron, dapat bertindak sebagai donor. Akseptor, atau konstituen yang ambil bagian dalam pasangan elektron, seringkali berupa ion logam, walaupun dapat juga berupa atom netral (Martin, A: 1990).
Kompleks terbentuk dari suatu reaksi ion logam yaitu kation dengan suatu anion atau molekul netral. Ion logam di dalam kompleks disebut atom pusat dan kelompok yang terikat pada atom pusat disebut ligan. Jumlah ikatan yang terbentuk oleh atom logam, pusat disebut bilangan koordinasi dari logam,, salah satu contoh reaksi kompleks adalah reaksi dari ion perak dengan ion sianida untuk membentuk ion kompleks Ag(CN)2 yang sangat stabil (Martin, A: 1990).
Gaya antar molekul yang terlibat dalam pembentukan kompleks adalah gaya van der Waals dari dispersi, dipolar dan tipe dipolar induksi. Ikatan hidrogen memberikan gaya yang bermakna dalam beberapa kompleks molekuler, dan kovalen koordinat penting dalam kompleks logam (Martin, A: 1990).
Pada tahun 1921, Emery dan Wright meneliti kerja pengompleks dari kafeina dengan sejumlah senyawa termasuk natrium benzoate dan natrium salisilat. Pada tahun 1930 Labes menentukan tetapan kesetimbangan antara kafeina dan ion salisilat, dan  dalam tahun 1937, Chambon meneliti kompleks kafeina natrium benzoat dengan metode distribusi (Martin, A:1990).
G.N Lewis menerangkan bahwa pembentukan kompleks terjadi karena pentumbangan atau pasangan elektron seluruhnya oleh satu ligan kepada atom pusat, inilah yang disebut dengan ikatan-datif. Teori Medan Ligan menjelaskan bahwa pembentukan kompleks atas dasar medan elektrostatik yang diciptakan oleh ligan-ligan dalam dari atom pusat. Medan ligan menyebabkan penguraian tingkatan energi orbital-orbital-d atom pusat, yang lalu menghasilkan energi untuk menstabilkan kompleks itu (Energi Stabilitas Medan Ligan) (Svehla, G.: 1990).
Satu ion (atau molekul) kompleks terdiri dari satu atom (ion) pusan dan sejumlah ligam yang terikat erat dengan atom (ion) pusat itu. Atom pusat ditandai oleh bilangan koordinasi, suatu angka bulat, yang menunjukkan jumlah ligan (monodentat) yang dapat membentuk kompleks yang stabil dengan satu atom pusat. Susunan logam-logam sekitar atom pusat adalah simetris (Svehla, G.: 1990).
Pada sebagian besar logam cenderung untuk membentuk kompleks. Sifat ini dapat digunakan untuk pemisahan, penentuan kadar dan untuk membuat kation tidak dapat berreaksi. Untuk analisis kuantitatif yang penting adalah tetapan stabilitas (kestabilan) dan tetapan disosiasi. Pada pembentukan dan penguraian senyawa kompleks dibedakan antara disosiasi pertama dan kedua. Disosiasi pertama merupakan disosiasi menjadi kation dan anion kompleks atau menjadi anion dan kation kompleks, yang biasanya terjadi secara sempurna (Roth, H., J: 1994).
Pembentukan kompleks dalam analisa kualitatif sering terlihat dan dipakai untuk pemisahan atau identifikasi. Salah satu fenomena yang paling umum yang muncul bila ion kompleks terbentuk adalah perubahan warna larutan dan kenaikan larutan (Svehla, G.: 1990).
Makin besar tetapan disosiasi, makin banyak ion dalam larutan, dan makin tidak stabil kompleks yang terjadi. Selain itu diketahui juga bahwa banyak senyawa kompleks yang terdisosiasi secara bertahap. Ion kompleks tunggal hanya terdapat pada larutan senyawa kompleks yang sangat kuat (Day, R., A.: 1995).
II.2 Uraian Bahan
            1.    Air Suling (Dirjen  POM:  1979)
            Nama Resmi             : Aqua Destillata
            Sinonim                    : Aquades, air suling
            RM/BM                    : H2O
Rumus Bangun        :


Pemerian                  : Cairan  jernih,  tidak  berwarna,  tidak berbau,  tidak berasa
Penyimpanan            : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan                 : Sebagai pelarut.
2.                     2. Kafein (Dirjen  POM:  1979)
           Nama Resmi             : Coffeinum
           Sinonim                    : Kafein; 1,3,7-trimetil xantin
           RM/BM                    : C8H10N4O2/194,19
           Rumus Bangun        :





Pemerian                  : Serbuk atau hablur bentuk jarum, mengkilap biasanya menggumpal, putih, tidak berbau rasa pahit.
Kelarutan                 : Agak sukar larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, mudah  larut dalam kloroform dan sukar larut dalam eter.
Penyimpanan            : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan                 : Sebagai sampel
            3.      Sulfanilamid (Dirjen  POM:  1979)
            Nama Resmi             : Sulfanilamidum
Sinonim                    : Sulfanilamid; p-aminobenzosulfonamidaa
            RM/BM                    : C6H8N2O2S / 172,21
            Rumus Bangun        :


Pemerian                  : Hablur, serbuk hablur atau butiran putih tidak berbau, rasa pahit kemudian manis.
Kelarutan                 : Larut dalam 200 bagian air, sangat mudah larut dalam air mendidih, agak sukar larut dalam etanol, sangat sukar larut dalam kloroform, eter dan benzene.
Penyimpanan            : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya.
Kegunaan                 : Sebagai pengompleks.


BAB III
METODE KERJA
III.1    Alat dan Bahan
III.1.1        Alat-alat yang digunakan
Ø  Batang Pengaduk
Ø  Beker gelas 250 mL
Ø  Botol semprot
Ø  Labu ukur 50 mL dan 100 mL
Ø  Pipet volume 1,0 mL dan 10,0 mL
Ø  Rak tabung
Ø  Sendok tanduk
Ø  Spektrofotometer UV
Ø  Tabung reaksi
Ø  Timbangan
III.1.2        Bahan-bahan yang digunakan
Ø Aquadest
Ø Kertas saring
Ø Kertas timbang
Ø Kofein
Ø Sulfanilamid
Ø Tissue Roll
III.2    Cara Kerja
III.2.1        Larutan Standar
1.         Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2.         Ditimbang 2,5 g kofein
3.         Dilarutkan kofein dengan air suling dalam labu ukur 100,0 mL dan dicukupkan volumenya hingga 100 mL
4.        



Dipipet 1 mL larutan dengan pipet volume 1,0 mL, dimasukan kedalam labu ukur 100,0 mL dan dicukupkan volumenya hingga 100 mL.
5.         Dipipet 1 mL larutan dengan pipet volume, dimasukan kedalam labu ukur 50,0 mL dan dicukupkan volumenya hingga 50 mL.
6.         Dipipet lagi 10 mL larutan dengan pipet volume, kemudian dimasukan kedalam tabung reaksi.
7.         Diukur serapan larutan pada spectrofotometer dengan panjang gelombang yang sesuai.
III.2.2        Larutan Sampel
1.        Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2.        Ditimbang 2,5 g kofein.
3.        Dibuat larutan, dimana 2,5 g kofein dilarutkan dengan air suling dalam labu ukur 100,0 mL dan dicukupkan volumenya.
4.        Dipipet 5 mL larutan dengan pipet volume 5,0 mL, dimasukan kedalam labu ukur 100,0 mL dan dicukupkan volumenya hingga 100 mL.
5.        Dipipet 10 mL larutan dengan pipet volume 10,0 mL dimasukan kedalam labu ukur 100,0 mL lalu dicukupkan volumenya dengan air suling hingga 100 mL.
6.        Dipipet lagi 10 mL larutan dengan pipet volume lalu dimasukan kedalam tabung reaksi.
7.        Dibuat larutan dengan cara yang sama menggunakan kofein 2,5 g dengan penambahan sulfanilamid sebanyak 0,5 g; 1,0 g; 1,5 g; dan 2,0 g
8.        Diukur serapan semua larutan pada spektrofotometer dengan panjang gelombang yang sesuai.
III.2.3        Larutan Blangko
1.        Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2.        Dibuat larutan dengan melarutkan 0,5 g sulfanilamid dengan air suling dalam labu ukur 100,0 mL dan dicukupkan volumenya hingga 100 mL.
3.        Dipipet 5 mL larutan dengan pipet volume lalu dimasukan kedalam labu ukur 100,0 mL dan dicukupkan volumenya hingga 100 mL.
4.        Dipipet 10,0 mL larutan tersebut dengan pipet volume lalu dicukupkan volumenya dengan air suling dalam labu ukur 100,0 mL.
5.        Dipipet 10 mL larutan tersebut lalu dimasukan kedalam tabung reaksi.
6.        Dibuat larutan dengan cara yang sama untuk sulfanilamid 1,0 g; 1,5 g; dan 2,0 g
7.        Diukur serapan semua larutan pada spektrofotometer dengan panjang gelombang yang sesuai.


BAB IV
HASIL PENGAMATAN
(pada file pdf)
SILAHKAN DOWNLOAD FILE PDFnya
KLIK


BAB V
PEMBAHASAN
(pada file pdf)
SILAHKAN DOWNLOAD FILE PDFnya
KLIK

BAB VI
PENUTUP
(pada file pdf)
SILAHKAN DOWNLOAD FILE PDFnya
KLIK



Daftar Pustaka

Day, R., A. 1995. Analisa Kimia Kuantitatif. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI: Jakarta
Martin, A. 1990. Farmasi Fisika Jilid I Edisi ke-3. UI Press: Jakarta.
Roth, H. J. 1994. Analisis Farmasi. Universitas Gadjah Mada Press: Yogyakarta.
Svehla, G. 1990. Vogel Buku Teks Analisis Anorganik. PT Kalman Media Pustaka: Jakarta.


Tag: Laporan, Laporan Farmasi Fisika, Laporan Komplekso, Laporan Kompleksasi Obat, Laporan Hasil Praktikum Kompleksasi Obat.



 

Klik Like Untuk Melanjutkan, Mohon Bantuannya Untuk Menyebarluaskan Artikel Ini

Powered By Riu Etsu Kazuo and Aku Anak Farmasi